Mahasiswa Tuding Walikota Tak Punya Rasa Kemanusiaan

BEKASI TIMUR – Forum Pembela Rakyat (FORPERA) Kota Bekasi bersatu menuding Walikota Bekasi Rahmat Effendi yang juga Ketua DPD Partai Golkar Kota Bekasi menjadi aktor utama penggusuran yang tidak berperikemanusiaan. Akibatnya banyak warga telantar.

Koordinator FORPERA Zaenudin mengatakan tindakan Pemerintah Kota Bekasi yang menggusur rumah warga tanpa mempertimbangkan aspek psikologis warga korban gusuran. Sehingga dari sisi kemanusiaan menjadi potret buram penguasa terhadap Hak Asasi Manusia masyarakat korban gusuran.

“Hilangnya hati nurani yang berkeadilan dan beradab bagi masyarakat sesuai dengan Idiologi Pancasila membuat mata warga terbelalak betapa kerasnya cambuk kekuasaan Pemerintah Kota Bekasi yang lebih mengutamakan kedikdayaan penguasa yang lupa amanah dengan UUD 1945 terhadap rakyat,” ketusnya.

Dia juga menyayangkan Penyalahgunaan alat negara Satpol PP,TNI/Polri sehingga mengorbankan rakyat sipil yang jelas dilindungi Pasal 28C ayat (1) UUD 1945,tidak lagi menjadi tumpuan kebijakan penguasa Kota Bekasi.

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan,” tegas Zaenudin.

Sementara itu, Koordinator Pemuda Demokrat Farid menyinggung, bahwa penggusuran tanpa adanya musyawarah warga sama saja masuk dalam pelanggaran HAM yang tidak bisa ditolelir lagi. Seharusnya, kata dia, sebagai pejabat negara selaku pelaksana kebijakan, harusnya lebih mengedepankan hak-hak warga untuk permusyawaratan dan mufakat sesuai dengan sila ke IV.

“Perlindungan atas hak dasar merupakan kewajiban bagi setiap individu, dan setiap lembaga Negara yang ada di setiap tingkatan. Kewajiban ini menjadi tanggung jawab kemanusiaan yang harus terus dijunjung tinggi dimanapun di bumi Nusantara ini, tanpa terkecuali di Kota Bekasi oleh pejabat negara,” singgungnya.

Farid juga menerangkan, terkait gencarnya penggusuran tanpa solusi di Kota Bekasi, pelaksanaannya lebih dominan dilakukan secara paksa, sporadis dan Barbar merupakan tindakan pelanggaran.

“Arogansi Pemkot Bekasi kepada warga korban gusuran sudah menjadi tradisi kepemimpinan Walikota Bekasi Rahmat Effendi. Sadar atau tidak sadar pejabat pemkot bekasi telah melanggar undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Yang pada akhirnya Simarhaen (Rakyat) menjadi korbannya,” sindirnya.

Menurutnya, berdasarkan Pasal 9 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 jelas menyebutkan “Tiap-tiap warga negara Indonesia , baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta mendapat manfaat dari hasilnya baik bagi diri sendiri dan keluarganya,” pungkasnya.

“Artinya merujuk pasal pada undang-undang dimaksud, penggusuran yang dilakukan Pemkot Bekasi keliru dan melanggar hukum,” tambahnya.

Hal senada dikatajan Zulhan, dari HMI Bekasi. Dia menambahkan, selain pasal 9 ayat 2, penggusuran juga menabrak ketentuan mengenai hak guna bangun dan hak pakai yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1960. “Merujuk ketentuan tersebut, maka Pemkot Bekasi tidak bisa seenaknya menggusur warga yang mendiami tanah negara miliki Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Sebab Cuma Kementrian PUPR saja yang kemudian bisa mencabut hak Izin penempatan lahan sementara,” tandasnya.

Dia juga sependapat dengan teman aktivis FORPERA, jika segala bentuk penindasan harus segera dihentikan dan dicarikan solusi yang arif dan mengedepankan rasa kemanusiaan.

“Sejalan dengan perjuangan teman teman aktivis, saya mendesak agar proses pembentukan pansus penggusuran yang tertunda bisa terealisasi. Karena Pansus adalah hal biasa untuk mencari solusi atas kebijakan Pemkot yang menggusur warga tanpa solusi kemanusiaan, seperti relokasi atau ganti rugi. Walikota tidak usah takut dan menolak,” sindirnya. (*)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*