Waduh, Proyek Jembatan Ponombo Berbau Kolusi

Proyek Jembatan Ponombo Senilai Rp.5,7 M Dinilai Syarat Kolusi

CIKARANG SELATAN – Proyek pembangunan jembatan di wilayah Kampung Penombo, Desa Pantai Harapan Jaya, Kecamatan Muara Gembong, yang menelan dana Rp5,7 miliar dari APBD Kabupaten Bekasi 2016, dituding sarat dengan kolusi.

“Dalam pelaksanaan tender proyek jembatan ini, sudah berbau kolusi. Hal itu terlihat dari dimenangkannya perusahaan (PT Cendana Wangi) yang dipinjam kontraktor. Kalau seperti itu jelas menyalahi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 70 Tahun 2012, sebagaimana perubahan dari Perpres nomor 54 tahun 2010 tentang pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan Pemerintah,” kata Anggota Lembaga Eksekutif Aliansi Indonesia, Dadang kepada Wartawan, Kamis (23/3/2017).

Selain itu, sesuai dengan Pasal 87 Jo pasal 89 Jo pasal 95 Perpres 70 dan UU perseroan, dan Perbendaharaan Negara, secara jelas dinyatakan pemenang tender proyek tidak diperbolehkan memindah tangankan pekerjaan yang sudah dimenangkan dan ditunjuk sebagai pemenang tender oleh Pengguna Anggaran.

Dadang juga menilai bahwa proyek jembatan tersebut yang dikerjakan oleh rekanan kontraktor PT Cendana Wangi disinyalir gagal konstruksi.

Pasalnya, proyek jembatan yang dikerjakan pada tanggal 9 Juni 2016 dengan volume panjang 40,8 M dan lebar 10 M, belum lama dikerjakan sudah mengalami amblas sedalam 80 centimeter, dan badan jembatan pun sudah bergeser selebar 10 centimeter.

“Saya yakin jembatan tersebut tidak akan bertahan lama, karena belum lama dibangun dan belum digunakan saja sudah rusak, apalagi kalau sudah bisa digunakan oleh kendaraan. Ini sudah jelas, proyek pembangunan jembatan tersebut dikerjakan tidak sesuai yang direncanakan, sehingga mutu dan kualitas dari pekerjaan tidak seperti harapan,” jelasnya.

Menurut Dadang, dalam UU No,18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi pada Pasal 43 UU ayat (1) menyatakan, barang siapa yang melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.

Selanjutnya Pasal 43 ayat (2) berbunyi, barang siapa yang melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan keteknikan yang telah ditetapkan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5% (lima per seratus) dari nilai kontrak.

Sedangkan dalam pasal 43 ayat (3) yaitu, barang siapa yang melakukan pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan sengaja memberi kesempatan kepada orang lain yang melaksanakan pekerjaan konstruksi melakukan penyimpangan terhadap ketentuan keteknikan dan menyebabkan timbulnya kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.

Ditambahkannya, sesuatu kebiasaan yang tidak terpuji tentang masalah kegagalan konstruksi di suatu proyek, pihak-pihak yang terkait biasanya selalu ada cara untuk memilih langkah-langkah mengamankan dan menyelamatkan orang-orangnya yang terlibat dari pada mengamankan atau menyelesaikan masalah-masalah itu sendiri.

Tidak jarang kondisi alam-lah yang dikambing hitamkan untuk menyelamatkan kecerobohan dan kelalaian manusia-manusia yang seharusnya bertanggung jawab dalam kegagalan konstruksi tersebut.

“Padahal, kita telah memiliki peraturan-peraturan dan per Undang-Undangan yang baik, semestinya semua pihak yang terlibat harus sudah mulai menyadari pentingnya mengikuti aturan Undang-Udang, bukan sibuk meyelamatkan diri   dengan mengorbankan kepentingan negara dan bangsa ini atau demi penyelamatan diri yang mengorbankan kepentingan orang banyak.” tukas dia (GUN)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*