CIKARANG PUSAT – Kejahatan seksual terhadap anak semakin menakutkan. Tren pelaku kejahatan tidak lagi perorangan namun bergerombol. Anak-anak tidak hanya menjadi korban, tapi juga pelaku kekerasan seksual kepada sebayanya secara bersama-sama.
Komisi nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, kejahatan seksual masih menjadi yang tertinggi dalam kasus kekerasan terhadap anak. Sejak dibentuk enam tahun lalu, KPAI sudah menerima 21,6 juta bentuk laporan kekerasaan. 56 persen diantaranya, merupakan kejahatan seksual. Angka tersebut makin mengkhawatirkan, karena dalam dua tahun terakhir, kasus kejahatan seksual dilakukan secara bergerombol.
Ketua KPAI, Arist Merdeka Sirait mengatakan, angka kekerasan seksual bergerombol mencapai 14 persen. Pelakunya bervariasi, mulai dari kelompok orang dewasa, orang dewasa bersama anak-anak, hingga anak-anak itu sendiri.
“Ini sungguh menakutkan, pelakunya sudah masuk kategori bergerombol, bukan orang per orang. Anak juga tidak lagi korban, tapi juga pelaku. Ini menjadi fenomena yang menakutkan karena pasti pendekatannya berbeda dengan orang dewasa. Bahkan anak-anak di ekspolitasi bersama-sama dengan orang dewasa menjadi kelompok gerombolan pemerkosa,” ujar Arist usai menjadi pembicara dalam seminar tentang perlindungan anak di President Junior High School, Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi, belum lama ini.
Arist menambahkan, fenomena gerombolan ini menakutkan karena biasanya marak terjadi di negara yang tengah konflik. Namun di kondisi yang kondusif saat ini, kejahatan seksual justru makin menjadi. Di Indonesia, kata dia, hal tersebut terindikasi terjadi pada 1998 saat situasi politik tengah kacau.
“Tahun 1998 kita sinyalir terjadi pemerkosaan secara bergerombol, itu karena situasi negara. Tetap anehnya, saat ini situasi di Indonesia dengan damai sekarang, kelompok pemerkosa justru ada. Itu justru lebih menakutkan dari pada keadaan perang. Keadaan perang bisa di monitor, tapi keadaan senyap sunyi, ancamannya ada,” ungkapnya.
Masih kata dia, pemerkosaan gerombol merupakan fernomena secara nasional. Fenomena ini berpotensi terjadi di seluruh daerah, termasuk di Jawa Barat. “Di Bekasi juga bisa terjadi, dimana anak diperkosa oleh 4-5 orang remaja, lalu bersama-sama dengan orang dewasa juga. Terakhir saya mendengar di Samosir. Itu anak tiga tahun diperkosa berulang-ulang oleh lebih dari tujuh orang,” bebernya.
Dari hasil penelusuran lebih lanjut, sambung dia, pornografi menjadi pencetus pertama perbuatan pelaku. Mudahnya akses informasi, membuat saluran pornografi sulit tersaring. Apalagi, ditambah minimnya bimbingan orang tua menanamkan nilai-nilai spiritual. Berawal dari pornografi, pelaku kemudian berhasrat untuk melampiaskannya. Pelampiasan pun akhirnya terjadi setelah bertemu dengan sesamanya dalam sebuah kelompok.
“Pelaku, juga anak, bisa berubah perilakunya jika menonton pronografi. Kalau seorang diri dia ada hasrat untuk melakukan aksi namun tidak ada keberanian. Kemudian ketika muncul bersama-sama (bergerombol) akan muncul keberanian. Keberanian akan semakin muncul lagi ketika mengonsumsi miras dan sebagainya. Itu akhirnya ketika dia bergerombol akan muncul keberanian untuk mengimplementasikan apa yang sebelumnya dia konsumsi yang tidak bisa dikontrol,” terangnya.
Dikatakan Arist, kondisi ini wajib diwaspadai orang tua, terlebih mereka yang memiliki anak di usia SMP. Karena, pada usia tersebut anak mudah dipengaruhi dan terpengaruh, apalagi dengan mudahnya akses informasi.
“Kuncinya diawali dari menonton pornografi hingga memicu tindakan lainnya. Kehadiran rumah ini sangat penting karena bagian terdekat dengan anak,” tandasnya.
Ketua KPAI Kabupaten Bekasi, Hanti Prihantini menambahkan, kasus kejahatan seksual di Kabupaten Bekasi terbilang tinggi. Kurang dari sebulan KPAI Kabupaten Bekasi dibentuk, pihaknya sudah menerima lebih dari 20 laporan kekerasan. Mayoritas diantaranya, kejahatan seksual.
Kendati begitu, kata Hanti, tidak semua laporan bisa ditindaklanjuti lantaran di tengah perjalanan, banyak masyarakat yang kembali mencabut laporannya. Karena malu, pelapor memilih menyelesaikan kasus kekerasan secara kekeluargaan. “Ini yang masih menjadi kendala sekaligus ciri khas di sini, orang tua lebih memilih menutupi. Dari puluhan itu, yang saat ini kami tindaklanjuti ada 10 laporan,” ucapnya.
Berdasarkan laporan tersebut, mayoritas merupakan kejahatan seksual. Diantaranya, kejahatan yang dilakukan keluarga terdekat maupun teman korban. Hanti pun membenarkan, banyak pelaku dari kasus tersebut yang berusia di bawah umur. “Banyak yang di bawah umur yang menjadi pelaku. Paling rendah itu umur 12 tahun. Ini terus kami kejar,” pungkasnya.(ONE)
Leave a Reply