
CIKARANG PUSAT – Anggaran belanja hibah yang digelontorkan Pemkab Bekasi dari tahun ke tahun menjadi lahan tumbuh suburnya simbiosis mutualisme, dan bahkan sangat berpotensi terjadinya unsur Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Hal itu tercermin dalam proses pengajuan dan penggunaan serta realisasi anggaran dana hibah yang diterima dan dikelola Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bekasi.
“Ya, berdasarkan informasi dan data yang kami himpun, bahwa setiap tahunnya Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bekasi itu mendapatkan dana hibah sejumlah puluhan milyar rupiah,” demikian dikatakan Pendiri LSM Jendela Komunikasi (JeKo) yang sehari-harinya
dipanggil Bob, dalam siaran persnya yang diterima redaksi, belum lama ini.
Menurutnya, berdasarkan laporan hasil kajian Bidang Investigasi dan Observasi LSM Jeko menyimpulkan, simbiosis mutualisme dan potensi KKN itu berawal dari proses pengajuan permohonan (proposal), pembahasan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan penggunaan serta realisasi anggaran.
Laporan tim Investigasi dan observasi dalam rapat pleno menemukan pada tahun 2022, untuk kegiatan Panitia Pemberangkatan dan Pemulangan Haji (P3H), Kantor Kementrian Agama itu mendapatkan dana hibah sejumlah 800 juta rupiah dan sudah direalisasikan atas dasar SK Bupati Bekasi Nomor : HK 02.02/Kep.168 – KESRA/2022. Tanggal 26 April 2022.
Dan kemudian, pada tahun 2023 sejumlah Rp 641.01.617. Di mana realisasi itu atas dasar SP2D Nomor 02.02/01.0/000002/4.01.0.00.0.00.01/P.02/5/2023. Dan SK Bupati Bekasi Nomor : HK.02.02/Kep.364 – KESRA/2023 Tanggal 2 Mei 2023.
Dengan adanya perbedaan jumlah nominal dana hibah itu, maka Tim Investigasi dan Observasi melakukan penelusuran, dan hasilnya ditemukan penggunaan dan realisasi dana hibah itu digunakan untuk biaya pengadaan transportasi dan akomodasi, pengadaan seragam dan honor kepanitiaan dalam pemberangkatan dan pemulangan haji.
“Yang jadi pertanyaan Tim Bidang Investigasi dan Observasi itu adalah terkait jumlah calon jemaah haji dan anggaran dana hibahnya. Di mana tahun 2022, jumlah calon jemaah haji sebanyak 1.001 orang, adapun anggaran biaya itu menghabiskan 800 juta. Sedangkan tahun 2023 sebanyak-sebanyak 2.163 orang dan menghabiskan anggaran senilai 641 juta rupiah lebih,” tuturnya.
Dengan adanya “perbedaan” tersebut. Maka Tim Investigasi dan Observasi, diperintahkan untuk terus melakukan “pendalaman” terhadap hal itu.
Alasannya, kata Bob, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang Dana Hibah. Disebutkan bahwa NPHD (Nota Perjanjian
Hibah Daerah) adalah satu kesatuan. Artinya, sebelum penerima dana itu menggunakan uangnya, terlebih dahulu harus menandatangani tiga hal.
Kesatu, tanda tangan dalam surat pakta integritas yang isinya siap bertanggung jawab atau dikenakan sanksi pidana jika program dan kegiatannya tidak sesuai dengan permohonan.
Kedua, tanda tangan surat pernyataan tanggungjawab mutlak. Di mana isi surat itu yakni realisasi anggarannya harus sesuai dengan pengajuan
permohonan dan lampiran Rencana Anggaran Biaya (RAB) sampai dengan membuat laporan pertanggungjawaban (LPJ).
Dan ketiga, pemberi dan penerima menandatangani NPHD.
“Nah, di NPHD itu kan ada klausul, hak dan kewajiban. Artinya, ada pihak ke satu yang disebut pemberi dan ada pihak kedua yang disebut penerima. Masing-masing pihak itu harus dan wajib melakukan evaluasi dan monitoring secara administrasi,” tandas Bob.
Untuk itu, Bob juga menegaskan kepada Tim Investigasi dan Observasi dalam melakukan “pendalaman” harus berpedoman kepada Undang Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah (Dana Hibah). Peraturan Bupati Bekasi Nomor 21 Tahun 2021.
“Apapun nantinya, hasil dari pendalaman tim tersebut menjadi rujukan kami dalam menindak lanjuti dan mendorong persoalan ini ke ranah hukum,” demikian tutur Bob mengakhiri. (RED)
Leave a Reply