
CIKARANG PUSAT – Biaya perjalanan dinas di Pemkab Bekasi mengalami “kebocoran” dan jumlah nilainya sangat fantastis yakni mencapai milliaran rupiah. Anehnya, “kebocoran” itu terjadi akibat ulah oknum Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang tidak patuh dan taat terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional.
Demikian dikatakan Dewan Pendiri LSM Jendela Komunikasi (JeKo), Bob HS dalam siaran persnya yang diterima redaksi Bekasiekspres.com melalui pesan WhastApp, Minggu (07/11/2022) malam.
Dijelaskan, bahwa penggunaan biaya perjalanan dinas yang sudah dialokasikan dalam APBD tahun 2021 sejumlah Rp135 milliar lebih dan terealisasi Rp57 milliar lebih. Sedangkan jumlah total “kebocoran” itu senilai Rp10.421.739.000.
Adapun alokasi anggaran biaya perjalanan dinas itu untuk seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang terdiri dari 25 dinas, 7 badan, 2 sekretariat, 23 kecamatan, inspektorat dan Satpol PP.
“Kebocoran itu terjadi dari penggunaan uang harian perjalanan dinas dalam wilayah Kabupaten Bekasi. Di mana dalam Keputusan Bupati Bekasi Nomor 900/Kep.359-Adm.Pemb/2021 tentang Standar Biaya Masukan Pemerintah Kabupaten Bekasi Tahun 2021, menjelaskan dan menetapkan bahwa besaran uang harian perjalanan dinas senilai Rp230.000 hingga Rp410.000 sesuai dengan kecamatan yang dituju,” ungkap Bob.
Masih kata Bob, Keputusan Bupati itulah yang menyebabkan terjadinya “kebocoran” dan TAPD harus bertanggung jawab, karena dalam Perpres Nomor 33 Tahun 2020 sudah jelas tertulis bahwa uang harian perjalanan dinas dalam wilayah nilainya Rp170.000.
“Kenapa dalam SK Bupati dan TAPD menentukan nilainya Rp230.000 sampai dengan Rp410.000. Inikan suatu bentuk “kejahatan” yang terstruktur dan sistematis. Alasannya, Perpres 33 tahun 2020 harus dan wajib jadi pedoman Tim Perumus SK Bupati tentang Standar Biaya dan SK Bupati tentang Pembentukan TAPD, sebab Perpres dibuat dan ditetapkan tahun 2020,” tandasnya.
Disebutkan bahwa OPD yang paling banyak “bocor” dalam penggunaan biaya perjalanan dinas itu adalah Dinas Kesehatan yakni senilai Rp1,6 milliar lebih. Kemudian Dinas Pendidikan dan Dinas Pertanian yakni masing-masing Rp500 juta lebih.
“Lucunya lagi, papar Bob, “kebocoran” itu pun terjadi di instansi “pemeriksa” yakni Inspektorat, di mana nilai bocornya mencapai Rp14 juta. Kemudian juga terjadi di Sekretariat Daerah (Setda) dan Sekretariat DPRD (Setwan) yang nilai bocornya masing-masing mencapai Rp257 juta lebih dan Rp175 juta lebih,” tutur Bob.
Menurut Bob, “kebocoran” itu merupakan suatu “pemborosan” dan selain “menabrak” Perpres tersebut, juga “menabrak” Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Bahkan “kebocoran” dan “pemborosan” itu pun sudah menjadi temuan Institusi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Jawa Barat. Namun sayangnya, temuan itu tidak menjadi rekomendasi BPK seperti umumnya yakni apabila terjadi lebih bayar dan kurang volume segera diproses sesuai ketentuan dan menyetorkan ke kas daerah.
Dengan tidak adanya rekomendasi dan diprosesnya hal itu menunjukkan bahwa duit APBD yang “bocor” senilai RpRp10.421.739.000, nyaris hilang begitu saja dan tidak ada sanksinya. Untuk itu, lanjut Bob, dalam waktu dekat ini memerintahkan pengurus JeKo agar segera membawa dan mendorong persoalan tersebut ke tingkat lebih lanjut.
“Tujuannya, agar ada pertanggungjawaban sebab regulasi tentang Standar Harga Satuan Regional itu dibuat dan ditetapkan Presiden tahun 2020, dan persoalan itu terjadi tahun 2021,” demikian tutup Bob.(RED)
Leave a Reply